Sri Mulyani: Antara Teknopratik, Politik, dan Warisan Kebijakan Fiskal Indonesia

SRI MULYANI: ANTARA TEKNOPRAKTIK, POLITIK, DAN WARISAN KEBIJAKAN FISKAL INDONESIA

TEROPONG-MEDIA.COM | POLITIK - Peran Menteri Keuangan dalam sebuah negara bukan sekadar pengelolaan angka dalam neraca keuangan, melainkan juga bagaimana prinsip-prinsip ekonomi dijalankan dalam kerangka politik dan sosial yang kompleks. Sri Mulyani Indrawati, sosok ekonom dan teknokrat Indonesia, menjadi figur penting dalam perjalanan kebijakan fiskal Indonesia sejak awal 2000-an hingga era kontemporer. Keberadaannya menghadirkan perdebatan: apakah ia hanya teknokrat yang setia menjalankan tugas atau justru sosok dengan pengaruh besar terhadap arah kebijakan negara.

Latar Belakang dan Karier Internasional

Sri Mulyani dikenal luas sebagai ekonom profesional dengan reputasi global. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank), sebuah posisi prestisius yang hanya diduduki oleh sedikit orang dari negara berkembang. Pengalaman internasional inilah yang menjadikannya figur penting di mata investor dan pasar global. Pasar modal Indonesia kerap menilai kehadirannya sebagai sinyal stabilitas, sehingga keberadaannya dalam kabinet sering dipandang sebagai faktor penenang.

Namun, loyalitas Sri Mulyani terhadap panggilan tugas negara membuatnya kembali ke tanah air. Ia menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Joko Widodo selama dua periode dan kemudian melanjutkan tugas pada masa awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Prinsip Kehati-hatian dan Ketegangan Politik

Salah satu ciri khas kebijakan fiskal Sri Mulyani adalah prinsip prudent atau kehati-hatian. Prinsip ini pernah membuatnya berhadapan dengan kelompok pengusaha besar, termasuk kasus Lapindo yang melibatkan keluarga Bakrie. Ketegangan tersebut menunjukkan bahwa sikap profesionalnya dapat berbenturan dengan kepentingan politik maupun ekonomi kelompok tertentu.

Meskipun demikian, loyalitasnya terhadap aturan dan regulasi membuatnya bertahan lama sebagai teknokrat. Ia tidak membangun jaringan politik seperti "Berkeley Mafia" pada era Orde Baru. Keberadaannya lebih diarahkan pada upaya menjaga stabilitas fiskal daripada membangun kekuatan politik pribadi.

Warisan Kebijakan Fiskal

Evaluasi terhadap kebijakan yang dijalankan di bawah kepemimpinan Sri Mulyani memberikan hasil yang beragam.

Peningkatan Utang Negara

Utang Indonesia meningkat signifikan, terutama akibat kebutuhan pembiayaan infrastruktur berskala besar. Program jalan tol, bandara, hingga proyek strategis nasional dibiayai melalui utang dan penerbitan obligasi. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah peningkatan utang tersebut produktif atau justru menjerat fiskal negara di masa depan.

Kebijakan Pajak dan Transfer Daerah

Upaya memperluas basis pajak membuat beberapa daerah harus meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dampaknya, banyak pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau melakukan efisiensi ketat. Hal ini memicu gejolak sosial di beberapa wilayah, seperti Pati, Cirebon, Jombang, dan Bone.

Cukai Rokok dan Dampaknya

Kebijakan menaikkan cukai rokok rata-rata 12% per tahun dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Namun, dampaknya cukup besar terhadap industri, terutama perusahaan rokok besar yang harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara itu, pasar rokok ilegal berkembang karena disparitas harga.

Pendanaan Program Pemerintah

Dalam era Presiden Jokowi maupun Prabowo, Sri Mulyani berperan mencari sumber dana untuk program-program besar, seperti infrastruktur dan program makan bergizi gratis. Di satu sisi, hal ini mencerminkan kepiawaian teknokrat dalam mendukung visi politik pemimpin. Namun di sisi lain, muncul kritik bahwa Sri Mulyani terlalu patuh terhadap instruksi politik tanpa mempertimbangkan keberlanjutan fiskal jangka panjang.

Tantangan dan Kritik

Kritik utama terhadap Sri Mulyani adalah posisinya yang kerap dianggap sekadar pelaksana teknokratik. Ia menyediakan solusi fiskal untuk program-program pemerintah, meski sebagian besar dianggap tidak efisien atau bahkan "ugal-ugalan" dalam pembiayaannya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah teknokrat hanya bertugas menjalankan kebijakan atau seharusnya memiliki keberanian politik untuk menolak kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai keberlanjutan fiskal?

Max Weber dalam esainya Politics as a Vocation menekankan pentingnya seorang pejabat publik tidak hanya menjalankan profesinya, tetapi juga membawa nilai (conviction) yang diyakininya. Dalam konteks ini, Sri Mulyani sering dianggap kurang mengambil sikap politis terhadap kebijakan yang dinilai tidak rasional.

Pergantian Kepemimpinan

Pada akhirnya, Sri Mulyani digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa. Meskipun masih dini untuk menilai kinerjanya, gaya komunikasi Purbaya yang lebih politis menunjukkan adanya pergeseran dari teknokrat murni ke arah pejabat yang dekat dengan lingkaran politik. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa kebijakan fiskal Indonesia akan semakin terikat pada kepentingan politik, bukan sekadar teknokrasi.

Kesimpulan

Sri Mulyani Indrawati meninggalkan warisan yang kompleks. Di satu sisi, ia dihormati karena integritas, profesionalisme, dan reputasi internasionalnya. Di sisi lain, peningkatan utang negara, gejolak di daerah akibat kebijakan fiskal, dan ketundukannya pada program politik yang mahal menimbulkan kritik keras.

Pelajaran penting dari perjalanan karier Sri Mulyani adalah bahwa teknokrat tidak cukup hanya berfokus pada keahlian profesional. Mereka juga harus memiliki keberanian politik untuk menegakkan nilai dan keyakinan yang benar demi keberlanjutan bangsa. Masa depan kebijakan fiskal Indonesia akan sangat bergantung pada apakah pejabat keuangan negara mampu menyeimbangkan profesionalisme dengan sikap politik yang berlandaskan nilai.

Referensi: Made Supriatma 

(H/S)

Posting Komentar untuk "Sri Mulyani: Antara Teknopratik, Politik, dan Warisan Kebijakan Fiskal Indonesia"