Manusia Dalam Pandangan Barat

MANUSIA DALAM PANDANGAN BARAT

TEROPONG-MEDIA.COM | PENGETAHUAN - Peradaban Barat merupakan peradaban yang memiliki sejarah yang panjang hingga menjadi bentuknya saat ini. Menurut James W. Sire, peradaban Barat pada beberapa abad belakangan ini setidaknya telah mengalami dua kali ‘pergeseran (shift)’ worldview, yaitu pertama dari era pra-modern (abad pertengahan) yang masih kental dengan nuansa teistik, kemudian masuk pada era modern yang naturalistik dimulai oleh tokoh rasionalisme Descartes dengan penekanan pada penggunaan rasio (ratio), dan kedua dari era modern masuk pada era pasca-modern dengan eksponen utamanya adalah tokoh nihilis, yaitu Friedrich Nietzsche.

Rasionalisme Barat merupakan proses fundamental yang menentukan aras sejarah dunia Barat. Petri menjelaskan bagaimana agama Kristen mengalami ‘pembaratan (westernized)’ yang mula-mula mengakui bahwa rasio dan wahyu dapat direkonsiliasi dengan penekanan pada esensi moral dalam iman Kristen. Meskipun agama Kristen dapat mengambil tempat dalam modernisasi Barat, akan tetapi paham ateisme, skeptisisme, dan semangat saintifik modern menikmati kebebasan dengan menisbatkan diri pada klaim-klaim agama. Bryan Turner menambahkan bahwa perselingkuhan  antara asketisme Protestan dengan Rasionalisme Barat telah menyebabkan de-mistifikasi dunia yang menjadikan segala sesuatu tunduk pada prinsip rasional.  

Descartes yang merupakan bapak Rasionalisme Barat telah membuat klaim bahwa alam semesta merupakan entitas mekanis raksasa yang terdiri dari ‘materi (res extensa)’ yang dicerap oleh manusia melalui ‘pikiran (res cogitans)’. Manusia dalam pandangan Descartes tersusun antara ‘tubuh’ dan ‘pikiran’. Pembelahan atas realitas (matter-mind) yang dilakukan Descartes telah memaksa manusia Barat melihat realitas secara mendua yang disebut dengan Dualisme. Akar dualisme dapat dilacak dalam sejarah mitologis bangsa Yunani, Romawi hingga Persia. 

Kesimpulan ini dicapai oleh Descartes melalui penerapan metode keraguan sistematis/metodis (systematic/methodic doubt) yang berangkat dari argumennya ‘cogito ergo sum’. Bahwa segala hal dapat diragukan kecuali 'keraguan' itu sendiri. Immanuel Kant sebagai tokoh empirisisme yang juga mengkritik rasionalisme Descartes bahkan mengadopsi paham dualisme, meski dengan bentuk yang berbeda.

Sire menyatakan bahwa ‘pergeseran’ pandangan dunia Barat dari teistik menjadi naturalistik terjadi pada rentang abad 1600-1750. Diawali oleh dualisme ‘jiwa-materi’, kalangan naturalis mengambil jalan untuk mensubordinasi ‘jiwa’ berada di bawah kategori ‘materi’. Dari paham naturalisme ini kemudian lahir paham humanisme yang berwatak ateistik dengan menolak Tuhan sebagai penentu nilai dan kebenaran. Humanisme merupakan buah dari cara pandang antroposentrik yang menekankan pada diri manusia sebagai ukuran segala sesuatu. Pada mulanya, humanisme belum menjadi tandingan agama, melainkan hanya merupakan kepercayaan sekelompok orang atas nilai pendidikan (literae humaniores) dari bangsa Yunani dan Latin kuno.

Pada perkembangan selanjutnya, humanisme menjadi doktrin yang mirip dengan agama.  Manusia dianggap independen dan tidak butuh Tuhan dan agama, bahkan paham humanisme sekuler menjadi rival dari agama. Kalangan humanis modern mengakui paham humanisme sebagai; 1) Keyakinan pada sains serta menolak ide supranatural; 2) Etika didasarkan hanya pada rasio dan empati sesama manusia; dan 3) Percaya bahwa tidak ada akhirat maupun tujuan dari alam semesta, kehidupan manusia hanya untuk merealisasikan kebahagiaan di dunia. 

Humanis sekuler percaya pada martabat dan nilai manusia untuk memperoleh kesadaran diri melalui rasio. Sosok manusia dalam paham humanisme yang menekankan pada rasio serta menolak intelek, secara gradual melakukan de-sakralisasi atas alam semesta dari unsur spiritual. Dari sini terlihat adanya paham sekularisme yang senantiasa menolak setiap elemen agama, bahwa manusia itu bebas tanpa dipengaruhi dan dikekang oleh otoritas agama dan iman.

Berdasarkan hal ini, Harvey Cox dalam bukunya The Secular City menyatakan bahwa sekularisme terdiri dari tiga elemen dasar; 1) Pelepasan doktrin mitologis-spiritual tentang alam semesta, 2) Penghapusan unsur sakral (agama) dari politik dan negara, dan 3) Pembersihan nilai-nilai dari unsur agama. Bahkan sekularisme berdasarkan pengamatan Cox justru lahir dari dogma dan teks agama Kristen itu sendiri.

Sekularisasi dimaknai sebagai pergeseran (shift) cara berpikir dari keyakinan supranatural kepada mentalitas rasional dalam masyarakat modern. Paham naturalisme yang mendominasi pemikiran Barat mengarah pada nihilisme serta menjadi alasan munculnya dilema modernitas sekuler ini, yaitu tidak adanya Tuhan, sosok transenden dan adikuasa menyebabkan hilangnya penentu nilai normatif dalam kehidupan manusia. Tidak adanya penentu nilai, maka Barat mengganti ‘suaka metafisika’ dari agama kepada tragedi. 

Tragedi menjadi cara pandang peradaban Barat dalam melihat hakekat kehidupan manusia.  Raymond Gauss dalam pengantarnya pada terjemahan The Birth of Tragedy karya Nietzsche menceritakan tentang penyakit masyarakat modern yang melihat kehidupan secara tragis. Schiller, Holderlin, Hegel, Marx, Wagner, dan juga Nietzsche sepakat dalam mendiagnosa penyakit manusia modern tersebut. Peradaban Barat menganut pandangan hidup yang tragis, yaitu menerima pengalaman kesengsaraan hidup sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peran manusia di dunia. Petri mengakui bahwa peradaban Barat melihat sejarah sebagai sekumpulan peristiwa yang penuh dengan penderitaan. 

Bagi Hegel ‘kesadaran tidak bahagia (unhappy consciousness)’ merupakan akhir dari tragedi, dia menghadirkan istilah ‘matinya Tuhan (death of God)’ sebagai sebuah pernyataan tidak bahagia yang mengekspresikan hilangnya segala sesuatu yang bersifat substansial. Disebabkan hilangnya pegangan nilai dengan matinya Tuhan, maka manusia memperoleh hak mutlak menentukan dirinya sendiri, alasannya bahwa jika tuhan itu tidak ada, maka semuanya menjadi boleh ungkap Scopenhauer.

Melalui proses sekularisasi yang dialami dan disadari oleh manusia Barat, ide tentang manusia sebagai jiwa telah ditolak. Tokoh empirisisme Barat, David Hume menolak bahwa jiwa (self) bisa ditemukan pada kesadaran manusia. Demikian pula Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa jiwa, jika bukan sebuah ilusi, maka ia tidak akan pernah dapat diketahui. Hal ini didasarkan pada paham dualistik jiwa-tubuh tentang hakekat manusia. Apa yang menjadi kepastian berdasarkan persepsi inderawi hanya hakekat fisik dari manusia sebagai ‘tubuh’ bukan jiwa. 

Jiwa kemudian diidentifikasi sebagai ‘sesuatu’ yang alami dan melengkapi realitas fisik. Alami dimaknai sebagai ‘sesuatu’ yang meskipun bukan materi (immaterial), hal itu bukan pula sesuatu yang bersifat spiritual. ‘Sesuatu’ yang berasal dari yang fisik itu mempunyai daya rasio yang disebut dengan ‘pikiran’ (mind), dimana konsep tersebut didasarkan pada argumen cogito Descartes. Bagi al-Attas, manusia Barat dilanda 'existential angst' karena mereka tidak mengenal bahkan kehilangan jiwa mereka.

Manusia kemudian didefinisikan sebagai hewan yang berakal, dimana ‘berakal’ dipahami hanya sebagai daya rasio, dan ‘hewan’ sebagai binatang. Cara pandang ini lebih menekankan manusia pada sisi hewaninya atau asal usul kebinatangannya. Rasio yang merupakan sisi akal hewani manusia, hanya mampu mengenali hal-hal yang fisik sehingga menafikan yang metafisik.

Lebih jauh, paham naturalisme Barat yang berangkat dari pandangan materialisme dan reduksionisme mengklaim bahwa kemampuan kognitif manusia justru direduksi hanya pada proses fisik yang terjadi pada otak. Konsep sekuler tentang manusia didasarkan pada teori evolusionis dan positivis yang berangkat dari cara pandang naturalisme tersebut. 

Manusia dianggap sebagai binatang yang tidak memiliki siginifikasi apapun di alam semesta. Charles Darwin mengklaim bahwa manusia merupakan produk evolusi biologis, hal ini menurut sebagian kalangan dianggap sebagai keputusasaan pada makna kehidupan, menjadikan manusia tidak lebih kecuali hanya sebagai binatang. Pada akhirnya manusia diceraikan dari asal usul transendennya menjadi sekedar produk evolusi biologis.

Bahkan pada kenyataannya, manusia era modern yang memang terbentuk dari nilai-nilai Barat adalah sosok manusia yang menurut Nasr telah mengalami krisis spiritual yang akut yang kemudian berdampak pada kerusakan lingkungan serta memberikan kebebasan penuh pada sisi kebinatangan manusia.  William Barrett mengakui bahwa sejak adanya dualisme Kartesian antara ‘ego’ dan ‘dunia luaran’, maka filsafat Barat modern berangkat dari paham subyektivisme radikal, bahwa subyek (manusia) menghadapi obyek (alam) dengan nuansa antagonisme yang terselubung yang memaknai alam hanya sebagai lahan jajahan. 

Keyakinan subyektivisme dalam paham naturalisme melahirkan tren eksistensialisme yang menekankan pada perspektif dalam melihat diri manusia itu bebas namun juga terbatas dalam menghadapi dunia yang penuh dengan kemungkinan. Sartre sebagai tokoh eksistensialis Perancis kemudian memaknai hakekat manusia dalam perspektif humanisme eksistensial ‘manusia itu tidak lain kecuali apa yang dia tentukan bagi dirinya sendiri’.

Selanjutnya, akibat dari penerimaan keraguan metodis (methodic doubt) dari paham rasionalisme serta ketegangan batin (inner tension) yang disebabkan unsur konflik dan pertentangan nilai dalam paham dualisme menciptakan hasrat yang tidak terpuaskan dalam pencarian abadi yang menggambarkan kenyataan tragis manusia. Bersamaan dengan paham humanisme melalui proses sekularisasi, menjadikan tragedi dibandingkan agama sebagai bentuk pengagungan tertinggi atas martabat manusia. Perseturuan kelompok dan perorangan, keturunan biologis, kondisi alam bawah sadar, kondisi takluk oleh frustasinya sendiri, kondisi manusia berhadapan dengan misteri dunia, pencarian makna yang tak henti, serta absurditas kehidupan merupakan gambaran tragis dari kenyataan kehidupan manusia dalam pandangan Barat. 

Oleh: Shadiq Sandimula

- Teropong Media, Melihat Informasi Lebih Jelas -

Posting Komentar untuk "Manusia Dalam Pandangan Barat"