Falsafah Ekonomi Syariah

FALSAFAH EKONOMI SYARIAH

TEROPONG-MEDIA.COM | EKONOMI - Filsafat sebagai suatu kajian yang mendalam tentang sesuatu merupakan salah satu mata kuliah dasar umum yang wajib diajarkan pada hampir setiap perguruan tinggi Islam. Filsafat hendak membahas segala sesuatu secara mendasar yang kemudian menjadi pijakan dari berbagai disiplin keilmuan. Ia berperan sebagai meta-teori pada setiap kajian keilmuan. 

Para filsuf setidaknya telah memberikan klasifikasi domain besar atas obyek kajian filsafat, yaitu pertama tentang Tuhan, alam, dan manusia. Berdasarkan klasifikasi ini kemudian dilakukan pembedaan (pada taraf tertentu yang mereka lakukan adalah pemisahan) disiplin ilmu dasar, yaitu ilmu ketuhanan (agama), ilmu alam, dan ilmu sosial. 

Ilmu Ekonomi yang dikenal pada era modern ini dimasukkan dalam kajian ilmu sosial, sebab obyek kajiannya tentang manusia atau humaniora. Humaniora sebagai ilmu yang memperlajari tentang kemanusiaan (humanities) yang juga dianggap sebagai "artes liberales" (liberal arts) memiliki cangkupan kajian yang sangat luas, mulai dari filsafat, agama, seni, sejarah, dan bahasa. Karena kajian sentralnya tentang manusia, serta selalu adanya relasi yang terkait dengannya, maka studi ini sering disebut juga dengan ilmu sosial.

Manusia sebagai poros kajian utamanya, maka setiap disiplin keilmuan tentu sudah mempostulasikan konsep asasi tentang manusia yang kemudian menjadi "model" untuk diderivasi darinya teori-teori yang digunakan untuk menjabarkan fenomena kemanusiaan. Hal ini berlaku juga dalam kajian dan disiplin ilmu Ekonomi. 

Secara konseptual manusia ekonomi dalam disiplin ekonomi konvensional adalah manusia yang memiliki watak individualis dan egoistis. Hal demikian yang dipostulasikan oleh para ekonom klasik. Berdasarkan modelisasi ini, fenomena-fenomena ekonomi terutama tentang mekanisme pasar dapat disederhanakan (direduksi) pada permintaan (demand) dan penawaran (supply), dimana kedua sisinya (yang dijalankan oleh manusia) memang hanya bertujuan mengejar kepentingan (interest) pribadi masing-masing. Memang dalam kajian Ekonomi banyak "penyederhanaan" yang dikenal dengan istilah Ceteris Paribus.

Adapun terkait buku ini, setidaknya berdasarkan pembacaan saya, kajiannya belum mengakar dan menjangkau sebagaimana yang diindikasikan pada judulnya sebagai "Falsafah Ekonomi Syariah". Sebab jika ingin membahas falsafah Ekonomi Syariah/Islam sepatutnya harus secara runut dari akar kajian berupa konsep manusia hingga ke berbagai cabang-cabangnya berupa konsep transaksi, produksi, distribusi, konsumsi, pasar, serta development, baik pada tingkat mikro, meso, hingga makro, sebab seluruh rantaian ini saling berhubungan. Malah nuansa yang saya tangkap dari buku ini lebih kepada Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah spesifik kepada fann Muamalah. Silahkan pembaca bisa baca sendiri bukunya. 

Nah kembali ke topik manusia, permasalahannya disini, apakah konsep manusia demikian telah sesuai dengan konsep filosofis manusia dalam Islam? Pertanyaan ini yang menurut saya masih belum usai (dalam buku juga belum klir), sebab pada prakteknya asumsi psikologis seperti itu yang masih dipakai dalam pengajaran Ekonomi Islam. Padahal jika melihat ajaran (Mu'amalah) dalam Islam secara garis besar sangat menekankan pada aspek ketergantungan dan keterhubungan antara individu-individu dalam masyarakat. 

Nah, mencoba menggunakan pendekatan analisis semantik konsep manusia dalam Islam yang disebut dengan istilah "Insan" untuk menganalisis sejauh mana kata "Insan" mendefinisikan manusia secara deskriptif (rasmi). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Syed Naquib al-Attas bahwa keterjagaan bahasa Arab dalam mengunci makna atas suatu kata memberikan keunikan tersendiri dalam tradisi keilmuan Islam, dimana konsep-konsep kunci (key concepts) dapat digali dan diderivasi dari bahasanya itu sendiri sebab adanya keterjagaan konseptual itu. Artinya kita dapat menggunakan konsepsi ini menjabarkan fenomena ekonomi yang dilakukan manusia ekonomi yang sesuai dengan pandangan Islam. 

Ibn Manzur mencatat bahwa asal format dari kata "insan" adalah "insiyan". Pecahan kata lain dari "insan" adalah "insi", bentuk pluralnya adalah "unas", dikatakan pula bahwa kata "nas" merupakan transformasi dari kata "unas" sebagaimana yang diriwayatkan al-Munziri dari Ibn al-Haytham.  Adapun kata "nas" merupakan bentuk plural dari "insan".

Al-Raghib al-Ishfahani menjelaskan dalam al-Mufradat bahwa manusia disebut insan karena ia diciptakan sebagai makhluk sosial, yakni tidak dapat menjalankan kehidupannya kecuali saling bahu-membahu dengan orang lainnya, oleh karena itu manusia secara tabiat adalah makhluk sosial atau bermasyarakat (madani). Dinamakan pula manusia sebagai insan karena perilaku ramah kepada orang lain. 

Berdasarkan pengertian ini, maka manusia secara mendasar adalah makhluk sosial yang menganggap baik sebuah interaksi yang positif serta berusaha untuk menciptakannya. Artinya postulat dari konsep manusia berdasarkan makna semantik dari kata "insan" adalah manusia yang memiliki watak resiprokal serta bahu membahu diantara sesama mereka. Hal ini sebenarnya dapat terlihat dari digunakan kata "masyarakat" dalam bahasa Indonesia, dimana kata ini terambil dari bahasa Arab yaitu "musyarakah" yang diartikan perkongsian atau kerjasama. 

Konsep manusia ini juga yang dipakai oleh Al-Dimasyqi misalnya dalam karyanya al-Isyarah ila Mahasin al-Tijarah, begitu juga al-Ghazali ketika menjelaskan tentang Adab al-Kasb wa al-Ma'ashi. Maka hadits tentang ajuran berlaku "samahah" dalam transaksi dan hutang piutang menjadi relevan, demikian pula berbagai transaksi perkongsian seperti Musyarakah beserta turunannya. 

Nah menggunakan konsepsi, maka permasalahan yang dialami manusia Homo Economicus yang individualis tidak akan dialami manusia ini, berupa pergulatan antar kelas yang memang dikesankan bersifat antagonistik antara kedua kubu. Menurut kalangan Sosialis Marxis misalnya bahwa konsep masyarakat terdiri dari individu dan kelompok yang saling berdialektika, sehingga dikenal pembagian antara kelas borjuis dan proletar atau pemodal dan buruh, dimana adanya persaingan antar kelas ini secara dialektis untuk melahirkan model yang mungkin berbeda dari hasil dialektika tadi sebagaimana ia menjadi lingkaran kataklismik yang tanpa henti berupa tesis, anti-tesis, dan sintesis. Dialektika seperti ini tidak berujung serta tidak memiliki kepastian karena tidak adanya tujuan atau akhir daripadanya, suatu ciri khas pandangan alam Barat yang terus "menjadi" tanpa pernah "jadi". 

Kritiknya terfokus pada pertentangan atau perselisihan kelas sosial dalam masyarakat, dimana konsepsi masyarakat yang mana ia terbentuk dari berbagai individu-individu yang disebut "insan" itu tidak mengesankan sebagai manusia yang senantiasa berselisih, malah sebaliknya saling tolong-menolong, bahu-membahu, dan gotong-royong, sebagai ciri khas masyarakat yang resiprokal. Disini tentu kita berbicara sebagai Manusia Ekonomi Islam, yakni manusia ekonomi yang ideal dalam Islam. 

Adapun kata derivatif lainnya adalah "anas" atau "anis" atau "uns" yang bermakna ramah, jinak, bersosial, mudah bergaul, dan berkawan (khilaf al-wahsyah). Kata anas bersama dengan derivasi katanya berdasarkan konteks jalinan kalimat (siyaq al-kalam) memiliki makna yang berhubungan dengan kebaikkan secara sosial, diantaranya adalah bentuk keramahan (كان أنيسا لطيفا), bersahabat, kebersamaan, dan keberkawanan (أنس به أو إليه), menjinakkan atau menghilangkan sifat liar pada binatang (أنس الحيوان), menciptakan keadaan yang bersahabat serta membahagiakan (أنس فيه أو منه), serta mengenal dan mengidentifikasi keberadaannya (آنس: أحس بـ).

Konsep berikut ini memberikan implikasi bahwa manusia adalah makhluk yang peduli dengan sesama atau dengan kata lain adalah makhluk altruis. Sosok altruis seperti ini menjadi sangat relevan dengan ajaran berupa pemberian zakat, infak, sedekah, hingga wakaf. Inilah yang saya maksudkan sebagai sesuatu sistem runut yang saling terjalin dengan melihat setiap fenomena sebagai satu kesatuan. 

Karena pendekatan yang dipakai untuk mendefinisikan manusia adalah makna bahasa yang mana ia berbeda dengan aturan main logika yang untuk mendefinisikan sesuatu baik secara haddi maupun rasmi dengan memakai pembagian nau' (species), jins qarib (close related genus), jins ba'id (distant related genus), fashl (differentia), khashshah (proper accident), dan 'aradh aam (common accident). Namun, meski demikian konsep yang digali dari bahasa sangat membantu dalam mendefinisikan manusia secara deskriptif (rasmi).

Demikian salah satu konsep yang dapat digali dari redaksi "insan" berupa pengertian deskriptif (rasmi) tentang manusia. Maka Manusia Ekonomi menurut pengertian "insan" adalah manusia memiliki watak sosial dan resiprokal, serta altruis. Saya pikir kajian seperti ini perlu dikembangkan juga. Kembali untuk memperkokoh akar terlebih dahulu. 

Wallahu a'lam. 

NSS.

Oleh: Shadiq Sandimula

- Teropong Media, Melihat Informasi Lebih Jelas -

Posting Komentar untuk "Falsafah Ekonomi Syariah"