Sound Horeg Menurut Kacamata Sosiologi, Haramkah?

SOUND HOREG MENURUT KACAMATA SOSIOLOGI, HARAMKAH?

TEROPONG-MEDIA.COM | PRISTIWA - Sound Horeg menjadi salah satu tradisi dan hiburan sebagian masyarakat jawa timur ketika ada pergelaran acara seperti hajatan, pesta, hingga acara komunitas. Sound Horeg atau Sound bergetar, sering dikaitkan dengan ekspresi budaya di wilayah jawa timur, namun ternyata budaya ini sendiri justru tidak ditemukan di wilayah jawa timur, melainkan negeri bollywood (red. india).

Kegiatan sound horeg berfokus pada output audionya dengan kuantitas sound system dan volume yang besar, terkadang berupa live musik atau instrument musiknya saja. Kegiatan ini menuai kontroversi publik, karena dianggap lebih banyak mudharat dibandingkan manfaatnya.

fenomena ini menjadi atensi khusus dari beberapa tokoh ulama dan lembaga fatwa MUI dalam menyikapi kegiatan ini. Menurut kajian dan hasil bahtsul masail yang telah dilakukan secara holistik, para ulama dan komisi fatwa majelis ulama indonesia, khususnya daerah jawa timur menyatakan bahwa kegiatan sound horeg HARAM, karena menimbang banyaknya mudharat yang didapatkan dibandingkan manfaat. Hal ini selaras dengan opini masyarakat yang menyebutkan kegiata seperti ini tidak memiliki manfaat sedikitpun.

Kalau ditela'ah secara komprehensif, kegiatan yang disebut sebagai hiburan ini justru menjadi sebuah musibah dan malapetaka. Sebab hiburan yang dimaksud justru merusak fasilitas umum seperti gapura, lampu jalan, genteng, kaca rumah warga dan lain sebagainya. 

Bahkan warga yang setuju dengan adanya sound horeg tersebut, seperti tidak menikmati karena lebih banyak yang mendengarkan dengan telinga tertutup dibandingkan telinga terbuka. 

Dari perpektif agama, tentu ini haram. Lalu bagaimana menurut kacamata psikologi sosial?

Tentunya hal ini selaras dengan fatwa MUI yaitu HARAM. 

Sound Horeg dalam Kacamata Psikologi Sosial

Salah satu konsep utama dalam psikologi sosial adalah konformitas sosial, yaitu kecenderungan individu untuk mengikuti perilaku mayoritas agar diterima dalam lingkungannya. Dalam konteks Sound Horeg, banyak individu atau keluarga merasa “harus” menghadirkan sound system besar dalam hajatan mereka, bukan karena kebutuhan pribadi, tetapi agar tidak dianggap “tidak mampu” atau “tidak gaul” oleh lingkungan sekitar. Di sinilah letak jebakan sosialnya: apa yang dianggap sebagai hiburan, sejatinya adalah bentuk pemaksaan sosial yang tidak disadari.

Dari sisi efek psikologis, suara yang berlebihan atau melebihi ambang kenyamanan telinga dapat menimbulkan gangguan emosional dan stres. Anak-anak, lansia, dan bahkan orang dewasa yang tinggal di sekitar lokasi hajatan seringkali tidak bisa beristirahat dengan baik, terganggu konsentrasinya, dan merasa cemas karena dentuman suara yang konstan. Ini juga bisa menyebabkan agresi pasif dalam masyarakat, yaitu ketidakpuasan yang tidak tersampaikan secara terbuka namun menumpuk menjadi kebencian sosial.

Secara teori dissonansi kognitif, masyarakat yang terdampak oleh Sound Horeg namun tidak bisa menolak karena tekanan sosial akan mengalami konflik batin antara keyakinan bahwa ini merugikan, dengan kenyataan bahwa mereka tidak bisa menghindar dari situasi tersebut. Akibatnya, mereka merasa tidak nyaman secara psikologis dan pada akhirnya menjadi apatis terhadap perbaikan lingkungan sosialnya sendiri.

Selain itu, efek social comparison juga muncul. Warga yang tidak mampu menyewa sound system besar dalam hajatan merasa minder, sehingga muncullah kompetisi sosial yang tidak sehat. Kegiatan yang seharusnya menjadi ajang syukur dan kebersamaan, justru berubah menjadi ajang pamer dan gengsi. Nilai-nilai seperti kesederhanaan, kenyamanan warga sekitar, dan kekhusyukan acara terkikis oleh ambisi personal atau kelompok untuk tampil lebih “wah”.

Hal ini diperparah dengan adanya ilusi kebersamaan, seolah-olah sound horeg menghadirkan kebahagiaan kolektif, padahal sebagian besar masyarakat hanya ikut hadir karena terpaksa, tidak nyaman untuk menolak, atau sekadar basa-basi sosial. Bahkan dari pengamatan, tidak sedikit orang yang menutup telinganya selama acara berlangsung indikator kuat bahwa tubuh dan pikiran mereka sedang dalam kondisi defensif terhadap rangsangan berlebihan.

(H/S)

Posting Komentar untuk "Sound Horeg Menurut Kacamata Sosiologi, Haramkah?"