MONOLOG "MATINYA SEORANG PEJUANG, A TRIBUTE TO MUNIR|
TEROPONG-MEDIA.COM | TOKOH - Meskipun hanya merupakan sebuah dunia fiksi, sering kali peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam sebuah pementasan teater begitu dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari. Begitu juga dengan hubungan antar tokoh, konflik, dan cara penyelesaiannya yang rumit—mirip dengan dinamika dalam kehidupan nyata. Di dalamnya, kita menemukan pahlawan, pengkhianat, dan unsur-unsur kemanusiaan yang menyentuh, serta mengajak kita merenung. Manusia, dengan segala kerumitannya, memang tidak pernah bisa dijelaskan sepenuhnya. Sebuah pertunjukan teater yang sempurna dan menyeluruh, yang mampu mencerminkan kompleksitas ini, tentu saja bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. Terlebih lagi ketika menggarap monolog seperti "Matinya Seorang Pejuang, A Tribute to Munir", prosesnya jauh lebih menantang dan rumit.
Pada Sabtu, 9 April, di studio Geoks, Singapadu, Gianyar, Bali, Whani Darmawan memperlihatkan betapa sulitnya proses tersebut. Sejak awal pertunjukan, ia sudah berusaha mencairkan batas antara panggung dan ruang pertunjukan. Bahkan sebelum dialog pertama diucapkan, ketika para penonton baru mulai memasuki ruang dan mencari tempat duduk, Whani sudah mulai beraksi, berjalan dari satu sudut panggung ke sudut lainnya, menggerakkan tubuhnya. Panggung yang minimalis dengan hanya satu meja, kursi, dan bangku kayu sudah menjadi latar adegan. Ini bukan sekadar memenuhi tuntutan naskah yang ditulis oleh Rudy Gunawan, tetapi juga arahan dari sutradara Landung Simatupang, yang menyadari bahwa sosok Munir di benak publik terdiri dari banyak lapisan yang memancing berbagai tafsiran.
Sosok Munir, baik di atas panggung maupun di pikiran penonton, tidak dapat dihadirkan sepenuhnya sebagai karakter fiktif. Munir adalah pejuang HAM dan anti-kekerasan yang kematiannya masih terasa hingga kini. Tewas secara tragis di dalam pesawat Garuda karena racun arsenik, Munir justru terus hidup dalam ingatan publik. Liputan yang luas dari media massa dan audiovisual membuat kasus kematiannya tetap menjadi sorotan. Pertunjukan ini, pada akhirnya, tidak bisa dilepaskan dari kenyataan tersebut, di mana para penulis naskah, sutradara, aktor, dan tim kreatif harus berhadapan dengan tantangan besar: bagaimana menyampaikan kisah Munir tanpa terjebak dalam tafsiran-tafsiran yang sudah ada di benak masyarakat. Dalam situasi ini, penonton pun tidak dapat dianggap sebagai audiens yang biasa.
Monolog ini, mau tidak mau, menjadi lebih dari sekadar sebuah pertunjukan teater biasa. Setiap elemen artistiknya—dari tata panggung, gerak, musik, hingga penulisan naskah—semuanya menjadi bagian dari taruhannya. Semua pilihan tersebut memiliki risiko yang tinggi untuk ditanggapi secara beragam oleh penonton. Fakta bahwa kematian Munir merupakan hasil dari sebuah konspirasi yang pengusutannya berlarut-larut, menciptakan kesan sandiwara politik yang terus berlanjut hingga kini. Fakta-fakta tersebut tidak mungkin diabaikan atau begitu saja diubah menjadi fiksi dalam pementasan ini.
Menjauh dari sensasi dan berusaha mencapai esensi cerita melalui siasat artistik adalah tantangan yang besar. Dalam monolog ini, upaya tersebut tidak mudah. Kebingungan dan tafsir yang berbeda tentang sosok Munir bisa memisahkan aktor dari penonton bahkan sebelum pementasan dimulai. Untuk menghadapi penonton dengan persepsi yang beragam ini, diperlukan bentuk penyampaian yang cerdas dan penuh perhitungan. Pasalnya, kisah kehidupan dan kematian Munir sangat sulit untuk diringkas dalam waktu singkat, seperti durasi 45 menit pementasan ini. Penulis naskah, Rudy Gunawan, sebagai penafsir pertama atas kehidupan Munir, menyadari hal ini.
Sebagai seseorang yang memiliki kedekatan personal dengan Munir, Rudy memilih pendekatan yang cermat dalam menampilkan Munir di panggung. Ia tidak menonjolkan sisi heroik Munir secara berlebihan dan menghindari kultus individu. Sosok Munir dihadirkan secara lebih manusiawi melalui percakapan intim dengan seorang sahabat, yang mewakili keseharian Munir. Dialog mereka jauh dari bombastis, tidak agitatif, dan juga tidak terjebak dalam jargon politik yang kaku. Alur cerita mengalir dengan sederhana, dan yang muncul ke permukaan adalah kehangatan persahabatan Munir dengan sahabatnya. Munir hadir dengan sangat wajar, dan dialog yang mereka lakukan terasa alami, tanpa pretensi yang berlebihan. Contohnya, dalam percakapan mereka:
"Bagaimana Bung melawan rasa takut selama ini?"
"Dengn pasrah saja. Kepasrahan membuat kita tenang, kawan."
"Bagaimana kau bisa menjadi begitu pasrah?"
"Dengan meyakini bahwa kematian adalah keniscayaan, dan menghargai hidup sebagai tanggung jawab."
Whani Darmawan, sebagai aktor, menyampaikan dialog tersebut dengan suara yang tenang dan tidak dramatis. Ini adalah pilihan artistik yang matang, di mana karakter Munir ditampilkan bukan sebagai sosok yang terlalu diagung-agungkan, melainkan sebagai manusia biasa yang memiliki nilai-nilai keberanian dan kejujuran. Melalui pementasan ini, kita diajak untuk melihat Munir bukan sebagai figur mitos, tetapi sebagai seseorang yang tetap mempertahankan sikap kritis terhadap kekuasaan yang cenderung otoriter.
Sebagai aktor yang sudah berpengalaman memainkan monolog, Whani malam itu tampil bukan untuk mendongeng dengan indah, melainkan untuk menyampaikan cerita dengan wajar. Gerakan panggungnya terkendali, tanpa banyak adegan dramatis. Tata artistik yang dirancang Hendro Suseno dan musik minimalis garapan Tony Prabowo semakin mempertegas suasana muram, dengan sesekali terdengar suara pesawat yang menjauh, mengingatkan akan kematian Munir. Kewajaran dalam bertutur ini menjadi pilihan dasar dalam menyampaikan pesan moral yang tidak bersifat verbal dan artifisial. Setiap adegan yang berkembang di panggung diibaratkan seperti langkah catur yang dimainkan secara hati-hati oleh Whani, perlahan-lahan membangun simbolisme yang utuh.
Landung Simatupang sebagai sutradara menyadari bahwa monolog ini membawa pesan yang lebih dalam, yang akan terwujud di benak penonton sebagai sebuah refleksi. Dengan demikian, pementasan ini diharapkan tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan seni, tetapi juga sebagai pengingat bahwa Munir, meski telah tiada, tetap hidup sebagai sebuah Nilai yang harus terus diperjuangkan.
Monolog ini telah dipentaskan di beberapa kota seperti Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Denpasar, dan akan berlanjut ke Mataram, dengan puncaknya di Jakarta.
(warih wisatsana)
Editor: Hendra, S
Posting Komentar untuk "Monolog "Matinya Seorang Pejuang, A Tribute to Munir""